Wednesday 23 November 2016

Sekilas Lagu Gemu Fa Mire

Era 80-an hingga 90-an, musik dangdut dan tarian kolosal “Rokatenda” mendominasi di masyarakat Sikka. Di panggung-panggung pesta, Rokatenda dan dangdut adalah tarian wajib dan menjadi pemicu kegembiraan pesta. Diselingi “dance” produk barat yang diminati oleh orang-orang tertentu. Karena tarian jenis ini butuh ketrampilan dan latihan khusus.Lain halnya dengan dangdut dan rokatenda. Orang Kupang bilang “abu nae” (debu beterbangan).

Seiringnya dengan kemajuan di dunia musik dan tumbuh suburnya pencipta lagu, melahirkan banyak karya yang bervariasi. Kemudian berkembang musik reggae, remix, dan lain-lain dengan syair daerah.

Satu di antara anak muda berbakat, ada satu sosok yang mampu menggali potensi musikal lokal menjadi karya yang digandrungi di seluruh dunia. Dia adalah Frans Cornelis Dian Bunda.

Pengakuan sang pencipta, Nyong Franco – demikian sapaanya,  tujuan penciptaan lagu ini sebagai ‘oleh-oleh’ bagi tamu dari luar yang datang ke Maumere.

Gemu fa mi re sendiri merupakan ungkapan jenaka nenek moyang. Secara harafiah artinya “makan not fa mi re”.

Siapa sangka karya Nyong Franco ini menembus benua. Kita mudah mendengar lagu fenomenal ini di angkutan kota, panggung pesta, televisi, dan sebagainya. Serta bertebaran di berbagai akun youtube.



Gemu Fa Mire
Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le’le luk ele rebin ha
Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le’le luk ele rebin ha
La le le luk sila sol
Mi fa mi fa sol
Le’le tiding fa fa
Rebing mude mi
Do do do do mi do mi do gemu fa mi re
ele le… ele le…
la le le luk sila sol
mi fa mi fa sol
le’le tiding fa fa
Rebing mude mi
Do do do do mi do mi do gemu fa mi re (Mmm… Manis)
Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le’le luk ele rebin ha
Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le’le luk ele rebin ha
Putar ke kiri e…
Nona manis putarlah ke kiri
ke kiri ke kiri ke kiri dan ke kiri ke kiri ke kiri ke kiri manis e..
Sekarang kanan e..
Nona manis putarlah ke kanan
ke kanan ke kanan ke kanan dan ke kanan ke kanan ke kanan ke kanan manis e…




hak cipta Gemu Fa Mire


Tuesday 22 November 2016

Mengenal Sejarah Tentang Flores

Pulau Flores adalah salah satu pulau dari deret kelompok-kelompok kepulauan yang merupakan wilayah dari Propinsi Nusa Tenggara Timur. Daerah itu terdiri dari kepulauan Flores, Sumba, kelompok kepulauan Timor dan dari kepulauan Tanimbar. Kelompok kepulauan Flores terdiri dari pulau induk ialah pulau Flores yang dikelilingi oleh pulau Komodo, Rinca, Ende, Solor, Adonara, dan Lomblem. Daerah Pulau Flores meliputi delapan kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Ende, Sikka, dan Flores Timur.

Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Pulau Flores bersama Pulau Timor, Pulau Sumba dan Kepulauan Alor merupakan empat pulau besar di Provinsi NTT yang merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan 566 pulau. Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di sebelah timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara dan Solor, sedangkan di sebelah barat ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca. Sebelah barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil itu ada pulau Sumbawa (NTB), sedangkan di sebelah timur setelah gugusan pulau-pulau kecil itu ada kepulauan Alor.Di sebelah tenggara ada pulau Timor. Di sebelah barat daya ada pulau Sumba, di sebelah selatan ada laut Sawu, sebelah utara, di seberang Laut Flores ada Sulawesi. Flores memiliki beberapa gunung berapi aktif dan tidur, termasuk Egon, Ilimuda, Lereboleng, dan Lewotobi.
bandara di Ende

Suku bangsa Flores adalah merupakan percampuran etnis antara melayu, Melanesia, dan portugis. Di karenakan pernah menjadi koloni portugis, maka interaksi dengan kebudayaan portugis sangat terasa dalam kebudayaan flores baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya. Nama flores itu sendiri berasal dari bahasa portugis yaitu “ cabo de flores “ yang berarti “tanjung bunga”. Nama itu semula di berikan oleh S.M. Cabot untuk menyambut wilayah timur dari pulau flores. Nama itu kemudian di pakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh gubernur jenderal hindia belanda Hendrik Brouwer. Nama flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flores yang di kandung di pulau ini. Lewat sebuah studi yang cukup mendalam oleh Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli pulau flores adalah nusa nipa (pulau ular). Dari sudut antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, cultural, dan ritual masyarakat flores.

sumber : wikipedia

Tarian.
Caci atau tari Caci atau adalah tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus. Tarian Caci Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan merupakan ritual Penti Manggarai dan Riung.

Pakaian.
Pakaian penarinya yang khas sudah menjadi daya tarik sendiri. Penari perang tersebut mengenakan celana panjang berwarna putih dipadu dengan kain songke (sejenis songket khas Manggarai) yang dikenakan di sebatas pinggang hingga lutut. Tubuh bagian atas dibiarkan telanjang sebab tubuh tersebut adalah sasaran bagi serangan lawan. Pada bagian kepala, para penari mengenakan topeng (panggal) berbentuk seperti tanduk kerbau dan terbuat dari kulit kerbau yang keras serta dihiasi kain warna-warni. Panggal akan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan handuk atau destar sebagai pelindung.


Kain Tenun NTT adalah kain yang dibuat dari proses menenun oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur. Tenun sendiri merupakan kegiatan membuat kain dengan cara memasukan benang pakan secara horizontal pada benang-benang lungsin, biasanya telah diikat dahulu dan sudah dicelupkan ke pewarna alami. Pewarna alami tersebut biasanya dibuat dari akar-akar pohon dan ada pula yang menggunakan dedaunan.

Kain adat mempunyai banyak fungsi penggunaan di masyarakat, meski tiap daerah ada penggunaan khusus di tiap suku, namun secara umum berikut adalah fungsi dari kain tenun:

1. Sebagai busana untuk penggunaan sehari-hari dan mentupi badan.
2. Sebagai busana dalam tari adat dan upacara adat.
3. Sebagai mahar dalam perkawinan dalam bahasa daerah disebut sebagai “belis” nikah.
4. Sebagai pemberian dalam acara kematian dan sebagai wujud penghargaan.
5. Sebagai penunjuk status social.
6. Sebagai alat untuk membayar hukuman jika terjadi ketidakseimbangan.
7. Sebagai alat barter/transaksi
8. Sebagai betuk cerita mengenai mitos dan cerita-cerita yang tergambar di motif-motif nya.
9. Sebagai bentuk penghargaan bagi tamu yang datang berkunjung.

Berdasarkan Cara Membuat
Tenun ikat, motif diciptakan dari pengikatan benang. Pada daerah lain yang diikat ialah benang pakan maka pada kain tenun di NTT dibuat dengan cara kain lungsi yang diikatkan.
Tenun Buna, berasal dari Timor Tengah Utara, yaitu menenun dengan cara menggunakan benang yang sudah dicelupkan terlebih dahulu ke pewarna.
Tenun Lotis, Sotis atau Songket: Proses pembuatan nya mirip dengan proses pembuatan tenun Buna.

Berdasarkan Kegunaan
1. Selendang
2. Sarung
3. Selimut

Semuanya mempunyai persamaan umum yakni cenderung berwarna dasar gelap karena zaman dahulu masyarakat belum mengenal adanya pewarna buatan sehingga menggunakan pewarna alami dengan pilihan warna yang terbatas.

Berdasarkan Persebaran
1. Tenun Ikat: Hampir tersebar di seluruh wilayah NTT kecuali Kab. Manggarai dan Kab. Ngada
2. Tenun Buna: Tersebar di daratan Timor antara lain di Kab. Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu. Namun paling banyak terpusat di wilayah Timor Tengah Utara.
3. Tenun Lotis/Sotis atau Songket: Tersebar di semua wilayah Nusa Tenggara Timur, merupakan bentuk tenun yang paling umum di masyarakat NTT.


Sunday 20 November 2016

Mandau Suku Dayak

Mandau merupakan benda yang sangat disakralkan masyarakat dayak kalimantan. setiap acara adat dayak mesti dilengkapi mandau. Pasalnya, bagi masyarakat dayak, mandau memiliki karakteristik yang bersumber dari harmonisasi alam dengan masyarakat dayak. Dari sumber itulah kekuatan mistik mandau muncul.

Masyarakat dayak meyakini leluhur mereka pada umumnya sangat tergantung pada alam. Sehingga alam dinilai bukan saja sebagai tempat tinggal, lebih dari pada itu, alam bagi mereka adalah ibu.

Dari alam pula mandau divisualisasikan menjadi sebuah benda yang akrab dengan kehidupan suku dayak kalimantan.

Seperti halnya batik khas dayak, mandau (senjata tradisional dayak) memiliki ciri khas tersendiri, dan tidak sama bentuk, ukir maupun kelengkapanya.
Nah, Untuk mengenal ciri khas benda yang satu ini, merahputih.com, mencoba mengulas secara umum bagian-bagian dari senjata warisan nenek moyang suku dayak kalimantan.

Masyarakat indonesia pada umumnya mengenal senjata ini dengan sebutan Mandau. Namun, bagi masyarakat dayak sebutan untuk benda ini bisa bermacam-macam. Ada enam rumpun suku dayak dengan penyebutan yang berbeda-beda.

Disebut Dongt bagi suku dayak tanjung, Ekeq dayak benoaq, Edog/Baliuu bagi dayak Bahau, Loboq bagi dayak tanjung dan Benoaq.



Adapun ciri mandau dapat dilihat dari tiga bagian pokok yaitu: Isin/Loneng, Pulang/Hulu, dan Sarukng.

Isin/Loneng selalu dibuat dari logam campuran (besiq purunt) dan diolah dengan tempaan seorang pandai besi. Biasanya mandau dibuat dari biji besi dengan panjang ideal sekira 50 cm, lebar pangkal 2 cm dan lebar ujung sekira 5 cm dengan berat 335 gram. Isin/loneng terdiri dari dua sisi utama, bagian punggung yang tumpul dan bagian bawah yang sangat tajam. Isin semakin ke ujung akan semakin lebar dan pada pangkalnya dipasangi Pulang (ukiran indah).

Permukaan Isin dihias mantaq yaitu lubang-lubang yang diisi dengan berbagai jenis logam, seperti kuningan, tembaga, emas dan perak. Mandau juga selalu dilengkapi dengan Langgei Puai atau isaau ( anak mandau).

Bagian kedua yang menjadi khasnya adalah Pulang/Hulu. Pada umumnya pulang dibuat dari tanduk rusa atau tanduk kerbau, namun dijumpai juga yang terbuat dari jenis kayu pilihan. Ciri unik Pulang menyerupai bentuk paruh burung atau bentuk kepala naga. Pada pangkalnya dihiasi ukiran motif dayak sesuai dengan suku pemiliknya. Pada ujung pulang atau hulu mandau yang menyatu dengan pangkal mandau dihiasi cincin yang sibut kamang/sopak. Pulang juga dihiasi rambut manusia yang disebut takan.

Dan bagian ketiga adalah sarukng yang berfungsi untuk melindungi bilah dan mempermudah untuk dibawa. Sarukng atau Kumpang terbuat dari bahan kayu, dihias dengan ukiran. Kumpang dihiasi dengan anyaman rotan yang disebut tempuser undang atau pusat belanak. Selain itu, pada kumpang terikat pula semacam kantong yang tebuat dari kulit kayu atau pelepah pinang sebagai sarukng anak mandau.

Motif Batik Kalimantan dan Sekilas Penjelasanya

Pada awalnya dulu munculnya sejarah mengenai batik Kalimantan adalah bersumber dari cerita Hikayat yaitu pada masa patih lambung mangkurat  yang melakukan tapa dan ketika tapa tersebut akan usai. Dia bertapa menggunakan rakit maka sampailah ia di kota bagantung, akan tetapi secara mendadak muncul buih  tepat dihadapannya dan bersamaan dengan munculnya buih tersebut muncul juga suara seorang wanita yang disebut oleh  warga sekitar sebagai putri junjung buih.
Katanya dialah yang akan menjadi raja benua ini. Akan tetapi kemunculan sang putri ke atas permukaan harus di barengi dengan beberap syarat yang dimintanya. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain : sebuah istana  batung, dan juga kain, kain tersebut bukan kain sembarangan akan tetapi menggunakan metode calap dan tenun.
Pengerjaannya kain ini harus menggunakan 40 motif, putri  motif yang dibuatnya adalah motif wadi dan pada ringin. Itulah tadi asal mulanya  batik kalimantan serta motifnya.

Dulunya kain kalimantan sering digunakan oleh kaum laki-laki untuk selendang, sabuk dan ikat kepala juga dipakai oleh kaum hawa sebagai kerudung maupun sebagai kemben. Ketika upacara adatnya pun menggunakan kain ini seperti dalam penyembuhan orang yang sedang sakit .

Motif batik Kalimantan tercipta dengan cara  teknik penjahitan dan ikatan dengan  komposisi pada warna serta efek yang timbulkanya,  juga dari jenis benang

Motif batik daun jaruju

motif batik iris pudak
motif batik kambang tampuk manggis
motif batik kambang tanjung
motif batik kulit kayu
motif bintang bahambur
motif jajumputan
motif ombak sinapur parang

nah dengan seiring perkembangan jaman, dan banyaknya desainer desainer batik, batik kalimantan juga di desain modern, seperti contoh di bawah ini,
Desain 1
Desain 2
Desain 3

Desain 4
sumber : butik batik motif dayak

dan masih banyak lagi motif motif batik dari kalimantan, yang unik, menarik dan indah, yang menceritakan tentang alam di kalimantan 

Sekilas Tentang Suku Dayak Kalimantan

Asal mula
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.

Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan 70.000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.

Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.

Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).

Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai. Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.

Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak hanya itu, sebagian dari mereka juga ada bangsa Eropa.


Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci. Kerajaan Kutai Kartanegara yang berada di Kalimantan Timur dulunya adalah kerajaan Suku Dayak.

Suku Dayak (Ejaan Lama: Dajak atau Dyak) adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung[15] Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.

Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:

- Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau termasuk satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Paser.
- Dayak Darat" (13 bahasa)
- Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Tidung.
- Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
- Melayik" dituturkan: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan Saq Senganan), Dayak Keninjal, Dayak Bamayoh (Malayic Dayak), Dayak Kendayan (Kanayatn). Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan rumpun ini sebagai suku-suku yang berdiri sendiri yaitu Suku Banjar, Suku Kutai, Suku Berau, Suku Sambas, dan Suku Kedayan.
sumber : wikipedia



Sekilas Makna Motif Seni Ukir, Lukis Dayak

Makna motif Seni Lukis Suku Dayak
Motif seni lukis suku Dayak pada dasarnya merupakan perpaduan antara suatu pola dasar yang memiliki artinya masing-masing, kemudian dikreasikan dalam berbagai perpaduan beberapa motif dasar sehingga menjadi satu kesatuan rangkaian makna yang berarti. Dalam artikel ini saya tidak menyampaikan arti makna motif secara keseluruhan, tetapi hanya pola dasar yang seringkali digunakan dalam perpaduan baik itu seni lukis tubuh / tato ataupun berbagai lukisan serta ukiran pada rumah adat, properti kesenian daerah, busana adat dll. Berikut ini beberapa contoh motif seni lukis suku Dayak:


Salah satu motif ukiran suku Dayak Lundayeh disebut juga dengan masyarakat Lun Bawang Kalimantan Timur. Motif ukiran pada gambar 1 diatas adalah motif Arit Linawa. Untuk motif ukiran gambar 2 adalah motif Arit Pawad. Sedangangkan motif ukiran gambar 3 adalah motif bebas yang digunakan sebagai ukiran pada Buluh atau Sarung Parang.

Sumber gambar:  Humabetang
Motif ukiran diatas merupakan gambaran motif ukiran dasar yang biasa digunakan untuk seni lukis tubuh / tato bagi suku dayak. Pola dasarnya yaitu: ukir rekong, bunga terung / terong, ketam, kelingai, buah andu, bunga tengkawang, bunga terung keling pinggang, song irang, ikor, dll. Untuk selenkapnya tentang makna artI tato dapat saudara baca pada sumber gambar yang saya ambil.


Sumber Gambar: Dayak Online
Berbagai motif ukiran bunga, yang pada mulanya dugunakan sebagai pola dasar tato / seni lukis tubuh. Pada zaman sekarang selain sebagi pola dasar tato, pola ini juga dikreasikan pada berbagai ukiran serta lukisan properti kesenian, interior funitur, dll.



Sumber gambar: Kaskus
Pola dasar lainnya yaitu perisai. motif perisai ini merupakan sebuah bingkai yang didalamnya terukir perpaduan motif kreasi dari berbagai pola motif dasar. Makna motif perisai ini adalah pertahanan yang kuat / kokoh suku dayak, karena pada dasarnya perisai ini digunakan sebagai alat pertahanan oleh masyarakat dayak saat berperang.

Sumber: Motif Dayak
Motif burung enggang Ini biasa ditautan dengan kompilasi motif naga. Hal ini dikarenakan enggang dan naga merukan simbol penguasa alam.  Mahatala atau Pohotara  merupakan penguasa alam atas yang disimbolkan sebagai Enggang Gading. Menurut kepercayaan budaya suku Dayak, Mahatala atau Pohotara ini merupakan jelmaan dari Panglima Burung yang datang hanya dalam keadaan penting (Perang). Oleh sebab itu simbol ini merupakan simbol yang paling dominan dalam ukiran motif dayak.

Sumber Gambar:  Budaya Indonesia
Kompilasi motif naga dari berbagai suku dayak. Pola dasar dari naga ini banyak digunakan dalam gambaran lukisan suku dayak. Menurut masyarakat suku dayak naga yang dikenal dengan sebutan Jata atau Juata dianggap sebagai simbol penguasa alam bawah (tanah/air). Sehingga Jata atau Juata ini dianggap sebagai simbol yang suci.

Sumber: Budaya Indonesia
Kompilasi motif anjing. Motif anjing ini biasa diukirkan pada lukisan tentang pengenalan kehidupan masyarakat suku dayak. Dalam cerita rakyat suku Dayak, anjing merupakan binatang jelmaan dewa yang diusir dari kayangan dan diturunkan ke bumi untuk menjaga manusia. Cerita ini tersirat dalam kisah "Dayang Sumbi dan Si Kumang". Akan tetapi itu hanya merupakan cerita rakyat semata. Pada dasarnya suku dayak membuat motif anjing menjadi bagian dalam berbagai kompilasi karena rasa terimakasih kepada hewan peliharaan mereka yang selalu menjaga dan menemani pada saat mereka berburu serta selalu setia kepada tuannya.  

Saturday 19 November 2016

Tokoh Seni Rupa Indonesia

Tokoh Seni Rupa Indonesia Ada banyak seniman yang terlahir dari bangsa Indonesia. Tak cukup tentu jika semuanya dicatatkan pada artikel kali ini. Oleh karena itu, kami hanya menuliskan beberapa di antaranya yang mungkin bisa mewakili betapa hebatnya bangsa ini dalam menciptakan sebuah kesenian yang disukai dunia. Berikut adalah beberapa tokoh seni rupa Indonesia yang kami maksud tersebut.

Basuki Abdullah (Pelukis) Basuki Abdullah seorang tokoh seni rupa Indonesia yang lahir di Surakarta, 27 Januari 1915. Ia merupakan salah seorang pelukis maestro dengan aliran seni rupa realis dan naturalis. Meninggal pada umur 78 tahun tepatnya pada 5 November 1993, ia pernah diangkat menjadi salah seorang pelukis resmi istana negara pada masa kepemimpinan presiden Soeharto. Karya-karya yang terlahir dari tangannya begitu dikenal hingga ke seluruh penjuru dunia. Lukisannya menjadi barang buruan langka yang dicari oleh banyak orang. Beberapa contoh lukisan yang pernah dibuat olehnya antara lain berjudul Lukisan "Kakak dan Adik" (1978) dan Lukisan "Balinese Beauty" (1976).

Affandi Koesoema (Pelukis) Affandi Koesoema adalah pelukis indonesia pertama yang membawa nama baik bangsa indonesia di mata dunia. Ia adalah seorang pelukis maestro yang lahir di Cirebon, tahun 1907. Karya-karyanya sangat familiar di dunia internasional karena selain memiliki nilai estetis yang tinggi, lukisan yang dibuat Affandi juga seing dipamerkan melalui pameran-pameran tunggal yang diadakannya di berbagai belahan dunia seperti Inggris, India, Eropa, dan Amerika. Tokoh seni rupa Indonesia ini juga terbilang sangat produktif. Selama masa hidupnya (meninggal 23 Mei 1990), ia telah menghasilkan > 2000 lukisan indah yang sebagian besar kini telah laku terjual. Beberapa karya seni rupa 2 dimensi berupa lukisan yang pernah dibuatnya antara lain poster propaganda Boeng, ajo, Boeng! tahun 1945.

F. Widayanto (Keramikus) F. Widayanto adalah seorang keramikus terkenal lulusan Institut Teknologi Bandung. Berbagai karya keramik yang dibuatnya sangat disukai konsumen mancanegara. Diawali tahun 1983, ia membangun bisnisnya dalam dunia seni rupa hingga akhirnya meraih sukses dan mampu bekerja sama dengan Kobayashi, sebuah perusahaan importir Jepang untuk barang-barang kesenian dan pecah belah.

I Nyoman Nuarta (Pematung) I Nyoman Nuarta adalah pematung asal Indonesia yang lahir di Bali, 14 November 1951. Ia dikatakan sebagai salah satu tokoh seni rupa Indonesia, selain karena karya-karya patungnya yang keindahannya menguncang, juga karena ia menjadi salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru pada tahun 1976. Beberapa mahakaryanya yang sangat dikenal antara lain Monumen Jalesveva Jayamahe (Surabaya), Patung Garuda Wisnu Kencana (Badung, Bali), serta Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta).

Bagong Kussudiardja
Koreografer dan pelukis kenamaan yang digelari begawan seni ini lahir di Yogyakarta, 9 Oktober 1928. Dalam dunia tari Indonesia, sempat muncul aliran ‘Bagongisme’, yang merujuk pada karakter tarian-tarian khas Bagong. Sebagai pencipta tari dan koreografer, Bagong mampu melahirkan dan membawakan tari-tarian dengan gerak-gerak yang dimanis, energik, dan hidup.
Selain energik, Bagong juga mendasarkan estetika seni tarinya pada keikhlasan untuk mengabdi pada kemanusiaan. Keikhlasan dan pengabdian itu mewarnai hampir semua karya
       Bagong, seperti tari Layang-layang (1954), tari Satria Tangguh, dan Kebangkitan dan Kelahiran Isa Almasih (1968), juga Bedaya Gendeng (1980-an). Pada 5 Maret 1958, ia mendirikan Pusat Pelatihan Tari Bagong Kusudiardjo. Sejak itu banyak penari bermunculan. Setelah sekian lama berpraktek menari dan melakukan observasi, Bagong akhirnya memutuskan untuk mendirikan padepokan seni di bidang tari, ketoprak, karawitan, dan sinden pada tanggal 2 Oktober 1978.

       Selama hidupnya, Bagong menciptakan lebih dari 200 tari dalam bentuk tunggal atau massal. Romo Gong (sapaan akrab dari Bagong Kusudiarjo) telah mencipta lebih 200 tari dalam bentuk tunggal atau massal. Beberapa karya lainnya yang dihasilkan adalah tari Batik, Keris, Reog, dan Yapong.

Didik Nini Thowok
Didik nini Thowok terlahir dengan nama Kwee Tjoen Lian. Namun, kemudian orangtuanya mengubah namanya menjadi Kwee Tjoen An. Ia lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 13 November 1954.

       Didik dikenal sebagai penari, koreografer, komedian, pemain pantomim, penyanyi, dan pengajar. Koreografi tari ciptaan Didik yang pertama dibuat pada pertengahan tahun 1971, diberi judul “Tari Persembahan”, yang merupakan gabungan gerak tari Bali dan Jawa. Didik tampil kali pertama sebagai penari wanita, berkebaya, dan bersanggul saat acara kelulusan SMA tahun 1972 membawakan tari Persembahan yang ditarikan dengan luwes dan memukau. Setelah menyandang gelar SST (Sarjana Seni Tari), Didik ditawari almamaternya, ASTI Yogyakarta untuk mengabdi sebagai staf pengajar. Selain diangkat menjadi
dosen di ASTI, ia juga diminta jadi pengajar Tata Rias di Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) Yogya.

Teguh Karya
Steve Liem Tjoan Hok (lebih dikenal dengan nama Teguh Karya; lahir di Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937 – meninggal di Jakarta, 11 Desember 2001 pada umur 64 tahun) adalah seorang sutradara film legendaris Indonesia. Teguh Karya adalah pemimpin Teater Populer sejak berdirinya tahun 1968. Ia enam kali menjadi Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia . Film-filmnya melahirkan banyak aktor dan aktris terkemuka Indonesia seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, dan Alex Komang.